PENGELASAN DIBAWAH PERMUKAAN AIR LAUT (UNDERWATER WELDING)

PENGELASAN DIBAWAH PERMUKAAN AIR LAUT (UNDERWATER WELDING)

Teknologi pengelasan (welding) sering sekali digunakan untuk memperbaiki kerusakan yang terjadi pada badan kapal, bangunan lepas pantai serta konstruksi lainnya yang terendam air. Pada pelaksanaannya, pengelasan di permukaan air masih merupakan prioritas utama sedangkan pengelasan di bawah air adalah alternatif lain yang dipilih bilamana tidak memungkinkan untuk dikerjakan di permukaan air. 
Ada beberapa keuntungan yang didapat dari teknik pengelasan ini, diantaranya adalah biaya yang relatif lebih murah dan persiapan yang dibutuhkan jauh lebih singkat dibanding dengan teknik yang lain, namun ada hal-hal lain yang mesti dipertimbangkan sebelum mengaplikasikannya. Selama masa operasinya, struktur lepas pantai akan membutuhkan beberapa intervensi bawah air untuk perawatan, perbaikan atau perubahan, seperti:
  1. Penguatan untuk resertifikasi struktur yang telah habis desain life-nya.
  2. Perbaikan karena kesalahan desain.
  3. Perbaikan karena kerusakan yang disebabkan oleh:
    a. Kesalahan pada saat instalasi,
    b. Insiden, misalkan tertabrak kapal, badai,
    c. kejatuhan benda dari atas dek, dan sebagainya,
    d. keretakan pada sambungan karena keadaan lingkungan (ombak, angin).
  4. Penambahan struktur karena adanya perubahan operasi (pemasangan riser, clamp, caisson, dan sebagainya).
  5. Pemasangan anode
Untuk intervensi dari jenis-jenis tersebut, terdapat beberapa teknik umum yang digunakan seperti:
  1. Grinding out cracks
  2. Clamps
  3. Grout filling
  4. Pengelasan hyperbaric
  5. Pengelasan bawah air
Terdapat beberapa pihak belum tertarik untuk menerapkan teknik pengelasan di bawah permukaan air. Hal ini terbukti bahwa hanya ada 50 kegiatan pengelasan bawah air untuk perbaikan struktur lepas pantai yang dipublikasikan selama 40 tahun terakhir, itu juga dengan sedikit informasi yang bersifat teknik. Pihak industri masih tertarik untuk memakai pengelasan hyperbaric atau pemasangan clamp meskipun butuh persiapan yang lebih rumit dan biaya yang lebih mahal.
  1. Kendala pada Underwater Welding
    Keengganan pihak industri untuk memakai teknik pengelasan bawah air ini bisa dimengerti mengingat hal-hal berikut :
    a. Class, baik DNV atau LR belum menerima teknik ini untuk perbaikan yang sifatnya permanen. Terdapat weld defects yang hampir selalu menyertai (porosity, lack of fusion, cracking) yang memberatkan teknik pengelasan ini untuk tujuan-tujuan perbaikan permanen. Pada perbaikan elemen yang dapat dikatakan kurang penting, class sudah bisa menerimanya sebagai permanen bersyarat yaitu bisa dianggap sebagai permanen asal dalam inspeksi mendatang tidak ditemukan penurunan yang signifikan dari kualitas pengelasan.b. Mengacu pada AWS D3.6:1999 yaitu Specification for underwater welding, hasil terbaik yang bisa diperoleh dari teknik ini adalah baru Class B. Hasil seperti ini hanya bisa diterima kalau tujuan pengelasan hanya untuk aplikasi yang kurang penting/kritis dimana ductility yang lebih rendah, porosity yang lebih banyak, discontinuities yang relatif lebih banyak masih bisa diterima. Kalaupun pengelasan ini dipakai biasanya hanya diaplikasikan untuk tujuan-tujuan yang sifatnya ‘fit for purpose’ saja.
    c. Tingginya resiko hydrogen cracking di area HAZ terutama untuk material yang mempunyai kadar karbon equivalent lebih tinggi dari 0.4%. Terutama di Laut Utara, struktur lepas pantainya biasa menggunakan material ini.
    d. Berdasarkan pengalaman yang ada di industri, teknik pengelasan ini hanya dilakukan sampai kedalam yang tidak lebih dari 30 meter.
    e. Kinerja proses shieldedmetal arc (SMA) dari elektroda ferritic memburuk dengan bertambahnya kedalam. Produsen elektroda komersial juga membatasai penggunaannya sampai kedalaman 100 meter saja.
    f. Sifat hasil pengelasan juga memburuk dengan bertambahnya kedalaman, teruatama ductility dan toughness (charpy impact).
    g. Karena kontak langsung dengan air, maka air di sekitar area pengelasan menjadi mendidih dan terionisasi menjadi gas oksigen dan hidrogen. Sebagian gas ini melebur ke area HAZ tapi sebagian besar lainnya akan mengalir ke udara. Bila aliran ini tertahan, maka akan terjadi resiko ledakan yang biasanya membahayakan penyelam.
  2. Pemecahan Masalah dari Underwater Welding
    Meskipun ada beberapa kendala yang membuat pihak industri yang enggan untuk memakai teknik pengelasan ini, sebenarnya terdapat beberapa usaha perbaikan yang telah dilakukan, baik dalam teknik pengelasan maupun mutu elektrodanya, yaitu
    a. Hydrogen cracking dan hardness di area HAZ bisa diminimalisasi atau dihindari dengan penerapan teknik multiple temper bead (MTB). Konsep dari teknik ini adalah dengan mengontrol rasio panas (heat input) diantara lapisan-lapisan bead pengelasan. Pengontrolan panas ini, ukuran bead pada lapisan pengelasan pertama harus disesuaikan sehingga penetrasi minimum ke material bisa didapat. Begitu juga untuk lapisan yang kedua dan seterusnya. 
    b. Terdapat tiga parameter yang mempengaruhi kualitas pengelasan dalam penerapan MTB ini, yaitu jarak antara temper bead, rentang waktu pengelasan, dan heat input.
    c. Teknik buttering juga bisa digunakan terutama untuk material dengan CE lebih dari 0.4%. Elektroda butter yang digunakan bisa elektroda yang punya oxidizing agent atau elektroda thermit.
    d. Pemakain elektroda dengan oxidizing agent. Agent ini akan menyerap kembali gas hidrogen atau oksigen yang terserap di HAZ.
    e. Pemakaian thermit elektroda juga bisa digunakan. Elektroda jenis ini akan memproduksi panas yang tinggi dan pemberian material las (weld metal) yang sedikit sehingga mengurangi kecepatan pendinginan dari hasil pengelasan oleh suhu di sekitarnya sehingga terjadi semacam proses post welding heat treatment.
    f. Elektroda berbasis nikel bisa menahan hidrogen untuk tidak berdifusi ke area HAZ. Sayangnya hardness di area HAZ masih tinggi dan kualitas pengelasan hanya baik untuk kedalaman sampai 10 meter.
  3. Metode Pengelasan pada Pengelasan Bawah Air
    Metode perbaikan akan dibutuhkan seperti pengelasan bawah air (underwater welding). Dua kategori utama pada teknik pengelasan di dalam air adalah pengelasan basah (Wet Underwater welding) dan pengelasan kering (Dry Underwater Welding).
  4. Pengelasan Basah (Wet Underwater Welding)
    Dimana proses pengelasan ini berlangsung dalam keadaan basah dalam arti bahwa elektrode maupun benda berhubungan langsung dengan air. Applikasi pengelasan sampai kedalaman 150 m. Metode pengelasan memberikan hasil yang kurang memuaskan, disamping memerlukan welder yang memiliki keahlian menyelam yang tangguh dan memerlukan pakaian khusus untuk selam, gelembung gas yang terjadi selama proses pengelasan akan sangat mengganggu pengamatan welder tersebut. Adapun proses pengelasan yang dipakai SMAW, FCAW dan MIG.
    Shielded metal arc welding (SMAW) adalah proses pengelasan dengan mencairkan material dasar yang menggunakan panas dari listrik antara penutup metal (elektroda). SMAW merupakan pekerjaan manual dengan peralatan meliputi power source, kabel elektroda, kabel kerja (work cable), electrode holder, work clamp, dan elektroda. Elektroda dan system kerja adalah bagian dari rangkaian listrik.
    Flux cored arc welding (FCAW) merupakan las busur listrik fluk inti tengah / pelindung inti tengah. FCAW merupakan kombinasi antara proses SMAW, GMAW dan SAW. Sumber energi pengelasan yaitu dengan menggunakan arus listrik AC atau DC dari pembangkit listrik atau melalui trafo dan atau rectifier. FCAW adalah salah satu jenis las listrik yang memasok filler elektroda secara mekanis terus ke dalam busur listrik yang terbentuk di antara ujung filler elektroda dan metal induk.
    Metal inert gas (MIG) adalah juga las busur listrik dimana panas yang ditimbulkan oleh busur listrik antara ujung elektroda dan bahan dasar, karena adanya arus listrik. Pengelasan MIG secara luas digunakan setiap kali dibutuhkan peleburan/penyatuan logam dengan kecepatan tinggi dan sedang.
    Pengelasan Bawah Air
    Gambar (a) cara kerja shielded metal arc welding, (b) cara kerja flux cored arc welding (c) cara
    kerja metal inert gas
  5. Pengelasan Kering (Dry Underwater Welding)
    Metode pengelasan ini tidak berbeda dengan pengelasan pada udara terbuka. Hal ini dapat dilakukan dengan bantuan suatu peralatan yang bertekanan tinggi yang biasa disebut dengan Dry Hyperbaric Weld Chamber, dimana alat ini secara otomatis didesain kedap air seperti layak desain kapal selam. Applikasi pengelasan sampai kedalaman 150 m kebawah. Seorang welder /diver sebelum menjalankan tugas ini tidak boleh langsung terjun pada kedalaman yang dituju, tetapi harus menyesuaikan terlebih dahulu step by step tekanan yang terjadi pada kedalaman tertentu sampai dapat menyesuaikan tekanan yang terjadi pada kedalaman yang dituju, otomatis untuk pengelasan 1 joint bisa memakan waktu yang cukup lama.

Link Download :

 Format Pdf                            - Format Ms.Word Docx
 Format Ppt                           - Format Ms.Word Docx

                    Password :      |     Status : Tested (Windows 8)
Jika ada kendala atau masalah, hubungi :
Facebook: Indar luh sepdyanuri
Twitter: Indar Luh Sepdyanuri
G+: +IndarLuhSepdyanuri
BBM : 7962E731
Whatsapp : 087738325051
Line : Indar Luh Sepdyanuri
SAMBUNGAN PAKU KELING | Makalah | Teknik Mesin

SAMBUNGAN PAKU KELING | Makalah | Teknik Mesin

1. PENGERTIAN Paku Keling / Rivet

Paku keling / rivet adalah salah satu metode penyambungan yang sederhana. sambungan keling umumnya diterapkan pada jembatan, bangunan, ketel, tangki, kapal Dan pesawat terbang. Penggunaan metode penyambungan dengan paku keling ini juga sangat baik digunakan untuk penyambungan pelat-pelat alumnium. Pengembangan Penggunaan rivet dewasa ini umumnya digunakan untuk pelat-pelat yang sukar dilas dan dipatri dengan ukuran yang relatif kecil. Setiap bentuk kepala rivet ini mempunyai kegunaan tersendiri, masing masing jenis mempunyai kekhususan dalam penggunaannya. Sambungan dengan paku keling ini umumnya bersifat permanent dan sulit untuk melepaskannya karena pada bagian ujung pangkalnya lebih besar daripada batang paku kelingnya.

Bagian Utama Paku Keling adalah :
  1. Kepala
  2. Badan
  3. Ekor
  4. Kepala lepas
Bahan Paku Keling

Yang biasa digunakan antara lain adalah baja, brass, aluminium, dan tembaga tergantung jenis sambungan/ beban yang diterima oleh sambungan.
Penggunaan umum bidang mesin : ductile (low carbor), steel, wrought iron.

Penggunaan khusus : weight, corrosion, or material constraints apply : copper (+alloys) aluminium (+alloys), monel, dll

2.  PENGGUNAAN PAKU KELING

Pemakaian paku keling ini digunakan untuk :
  • Sambungan kuat dan rapat, pada konstruksi boiler (boiler, tangki dan pipa-pipa tekanan tinggi). 
  • Sambungan kuat, pada konstruksi baja (bangunan, jembatan dan crane ).
  • Sambungan rapat, pada tabung dan tangki ( tabung pendek, cerobong, pipa-pipa tekanan).
  • Sambungan pengikat, untuk penutup chasis ( misalnya ; pesawat terbang, kapal).
1.3 KEUNTUNGAN DAN KELEMAHAN

A. Keuntungan

Sambungan paku keling ini dibandingkan dengan sambungan las mempunyai keuntungan yaitu :

  • Bahwa tidak ada perubahan struktur dari logam disambung. Oleh karena itu banyak dipakai pada pembebanan-pembebanan dinamis.
  • Sambungan keling lebih sederhana dan murah untuk dibuat.
  • Pemeriksaannya lebih mudah
  • Sambungan keling dapat dibuka dengan memotong kepala dari paku keling tersebut
B. Kelemahan
  • Hanya satu kelemahan bahwa ada pekerjaan mula berupa pengeboran lubang paku kelingnya di samping kemungkinan terjadi karat di sekeliling lubang tadi selama paku keling dipasang. Adapun pemasangan paku keling bisa dilakukan dengan tenaga manusia, tenaga mesin dan bisa dengan peledak (dinamit) khususnya untuk jenis-jenis yang besar.
Paku keling dalam ukuran yang kecil dapat digunakan untuk menyambung dua komponen yang tidak membutuhkan kekuatan yang besar, misalnya peralatan rumah tangga, furnitur, alat-alat elektronika, dll

3. JENIS PEMBEBANAN DALAM PAKU KELING 
Bila dilihat dari bentuk pembebanannya, sambungan paku keling ini dibedakan yaitu

Pembebanan tangensial dan Pembebanan eksentrik.
  • PEMBEBANAN TANGENSIAL
    Pada jenis pembebanan tangensial ini, gaya yang bekerja terletak pada garis kerja resultannya, sehingga pembebanannya terdistribusi secara merata kesetiap paku keling yang digunakan.
  • PEMBEBANAN EKSENTRIK
4. JENIS KERUSAKAN
  • Tearing of the plate at ende : robek pada bagian pinggir dari plat yang dapat terjadi jika margin (m) kurang dari 1.5 d, dengan d ialah diameter paku keling.
  • Tearing of the plate a cross a row of rivets : robek pada garis sumbu lubang paku keling dan bersilangan dengan garis gaya.
  • Shearing of the rivets : kerusakan sambungan paku keling karena beban geser.
5. TIPE SAMBUNGAN PAKU KELING
A. Berdasarkan Penyambungan Plat 
  • Lap joint (Sambungan Berimpit) : sambungan yang menempatkan pelat yang akan disambung saling berimpitan dan kedua pelat tersebut disambung dengan paku keling .
    Pemasangan tipe lap joint biasanya digunakan pada plat yang overlaps satu dengan yang lainnya.
  • Butt joint (Sambungan Bilah): sambungan yang menempatkan kedua ujung pelat yang akan disambung saling berdekatan, lalu kedua pelat tersebut ditutup dengan bilah (strap), kemudian masing-masing pelat disambungkan dengan bilah menggunakan paku keling
    Digunakan untuk menyambung dua plat utama, dengan menjepit menggunakan 2 plat lain, sebagai penahan (cover), dimana plat penahan ikut dikeling dengan plat utama. Tipe ini meliputi single strap butt joint dan double strap butt joint
B. Berdasarkan Jumlah Baris
  • Sambungan baris tunggal (single riveted joint)
    Pada sambungan berimpit, sambungan baris tunggal adalah sambungan yang menggunakan satu baris paku keeling pada sistem sambungan. Sedangkan pada sambungan bilah, sambungan baris tunggal adalah sambungan yang menggunakan satu baris paku pada masing-masing sisi sambungan. 
  • Sambungan baris ganda (double riveted lap joint)
    Sambungan baris ganda adalah sambungan yang menggunakan dua baris paku keling pada sistem sambungan. Sedangkan pada sambungan bilah, sambungan baris ganda adalah sambungan yang menggunakan dua baris paku pada masing-masing sisi sambungan
C. Berdasarkan Susunan Paku
  • Sambungan Rantai
  • Sambungan Zig - Zag
6.  DESAIN TEKNIS KELING
a. Pitch: Jarak dari pusat satu keling ke pusat keling lainnya yang sejajar, dinotasikan dengan p.
b. Diagonal Pitch: Jarak antara pusat keling pada baris berikutnya dari sambungan keling zig-zag
c. Back Pitch: Jarak tegak lurus diantara garis pusat dari baris berikutnya, donotasikan dengan ps.
d. Margin: Merupakan jarak antara pusat dari lubang keling dengan tepi dari pelat, notasi m.


Cold Forged Rivets to BS 4620: 1998 | Bolted Joints

Cold Forged Rivets to BS 4620: 1998 | Bolted Joints


MODUL  XIII

Cold Forged Rivets to BS 4620: 1998

Note: The Standard BS 4620 has been declared obsolescent as it is no longer used for current technologies....
Non-Preferred sizes

Nominal Shank dia
Dia
Tol
90 Deg Csk
Snap Hd
Universal Hd
Flat Head
Nom dia
Nom dia
Nom Depth
Nom dia
Nom Depth
Rad
Rad
Nom dia
Nom Depth
D
D
K
D
K
R
r
D
K











1
+/- 0,07
2
1,8
0,6
2
0,4
3,0
0,6
2
0,25
1,2
+/- 0,07
2,4
2,1
0,7
2,4
0,5
3,6
0,7
2,4
0,3
1,6
+/- 0,07
3,2
2,8
1,0
3,2
0,6
4,8
1,0
3,2
0,4
2,0
+/- 0,07
4
3,5
1,2
4
0,8
6,0
1,2
4
0,6
2,5
+/- 0,07
5
4,4
1,5
5
1
7,5
1,5
5
0,8
3
+/- 0,07
6
5,3
1,8
6
1,2
9,0
1,8
6
0,9
3,5
+/- 0,09
7
6,1
2,1
7
1,4
10,5
2,1
7
1,0
4
+/- 0,09
8
7
2,4
8
1,6
12
2,4
8
1,3
5
+/- 0,09
10
8,8
3,0
10
2,0
15
3,0
9
1,5
6
+/- 0,09
12
10,5
3,6
12
2,4
18
3,6
10
1,8
7
+/- 0,11
14
12.3
4,2
14
2,8
21
4,2
14
2,0
8
+/- 0,11
16
14
4,8
16
3,2
24
4,8
16
2,5
10
+/- 0,11
20
18
6,0
20
4,0
30
6,0
20

12
+/- 0,14
24
21
7,2
24
4,8
36
7,2


14
+/- 0,14

25
8,4
28
5,6
42
8,4


16
+/- 0,14

28
9,6
32
6,4
48
9,6




Diameter Paku Keling ( dpk )
Jika diketahui tebal pelat (t), maka diameter lobang paku keling dapat dicari dengan :
-          Persamaan empirik Unwin’s , jika tebal pelat yang diketahui lebih besar dari 8 mm :
d = 6 x
-          Membandingkan kekuatan satu paku keling dalam menahan gaya geser (Fs) dan gaya luluh (FLu), untuk tebal pelat kecil atau sama dengan 8 mm :
Fs  =  FLu
      τ x (π / 4) x dpk 2  =  σLu x dpk x t
maka :   dpk  = 

Sedangkan besarnya lobang paku keling diperoleh dari tabel perbandingan antara diameter paku keling (dpk) dan lubangnya (d) berikut ini :

dpk
12
14
16
18
20
22
24
27
30
33
36
39
42
48
d
13
15
17
19
21
23
25
28,5
31,5
34,5
37,5
41
44
50


Pit (p) Paku Keling
Pit paku keling dapat diperoleh dengan membandingkan besarnya gaya tahanan pelat terhadap sobek disepanjang kedudukan dengan tahanan paku keling terhadap geseran dari rancangan yang sedang dihitung, yakni :
Fta  =  Fs   (rancangan)
σta x Ataτ x As
Dengan ketentuan bahwa :
-          pit yang diperoleh tidak boleh lebih kecil dari 2.d, karena akan mengecilkan kekuatan pelat.
-          Harga maksimum pit untuk pemakaian berat seperti pada boiler, diperoleh dengan menggunakan persamaan :
Pmaks  =  C x t  +  4,128 cm
Dimana :
            C =  konstanta
            T  =  tebal pelat dalam satuan cm.

Bolted Joints

Bolted joints are one of the most common elements in construction and machine design. They consist of cap screws or studs that capture and join other parts, and are secured with the mating of screw threads.
There are two main types of bolted joint designs. In one method the bolt is tightened to a calculated torque, producing a clamp load. The joint will be designed such that the clamp load is never overcome by the forces acting on the joint (and therefore the joined parts see no relative motion).
The other type of bolted joint does not have a designed clamp load but relies on the shear strength of the bolt shaft. This may include clevis linkages, joints that can move, and joints that rely on locking mechanism (like lock washers, thread adhesives, and lock nuts).

Theory

The clamp load, also called preload, of a cap screw is created when a torque is applied, and is generally a percentage of the cap screw's proof strength. Cap screws are manufactured to various standards that define, among other things, their strength and clamp load. Torque charts are available that identify the required torque for cap screws based on their property class.
When a cap screw is tightened it is stretched, and the parts that are captured are compressed. The result is a spring-like assembly. External forces are designed to act on the parts that have been compressed, and not on the cap screw.
The result is a non-intuitive distribution of strain; in this engineering model, as long as the forces acting on the compressed parts do not exceed the clamp load, the cap screw doesn't see any increased load. This model is only valid when the members under compression are much stiffer than the capscrew.
   
This is a simplified model. In reality the bolt will see a small fraction of the external load prior to it exceeding the clamp load, depending on the compressed parts' stiffness with respect to the hardware's stiffness.
The results of this type of joint design are:
  • Greater preloads in bolted joints reduce the fatigue loading of the hardware.
  • For cyclic loads, the bolt does not see the full amplitude of the load. As a result, fatigue life can be increased or, if the material exhibits an endurance limit, extended indefinitely [1]
  • As long as the external loads on a joint don't exceed the clamp load, the hardware doesn't see any motion and will not come loose (no locking mechanisms are required).
In the case of the compressed member being less stiff than the hardware (soft, compressed gaskets for example) this analogy doesn't hold true. The load seen by the hardware is the preload plus the external load.

Thread strength

Nut threads are designed to support the rated clamp load of their respective bolts. If tapped threads are used instead of a nut, then their strength needs to be calculated. Steel hardware into tapped steel threads require a depth of 1.5× thread diameter to support the full clamp load.
If an appropriate depth of threads are not available, or they are in a weaker material than the cap screw, then the clamp load (and torque) needs to be de-rated appropriately.
Threads are usually created on a thread rolling machine. They may also be cut with a lathe, tap or die. Rolled threads are about 40% stronger than cut threads.

Setting the torque

Engineered joints require the torque to be accurately set. The clamp load produced during tightening is about 75% of the fastener's proof load. Over tightening will damage threads and stretch the bolt, ruining the joint's strength; see Hooke's law.
If the hardware is Cadmium plated, or lubricated (or both) the torque is reduced by 15–25% to achieve the same clamp load. Specialty coatings exists that allow for a reduction of 50% in torque (compared to non-plated, non-lubricated hardware) to achieve the designed clamp load. Cadmium plated fasteners are no longer produced due to the toxicity of the metal.
Torquing the bolt is notoriously inaccurate. Even with a calibrated torque wrench large errors are caused by dirt, surface finish, lubrication, etc. The turn of the nut method is more accurate, but requires additional calculations and tests for each application.
There are more expensive tools for accurate torque setting, like ultrasonic meters, but they are out of reach of most shops.

Property class

There are many different property classes (grades) of bolts and nuts. The most common are listed below. Note that each nut property class listed can support the bolt proof strength load of the bolt it is listed beside without stripping.
Bolt
property
class
Material
Proof strength
Tensile yield
strength, min.
Tensile ultimate
strength, min.
Bolt
marking
Nut
marking
Nut
class
ISO, per ISO 898-1
5.8
Low or med.
carbon steel
380 MPa
420 MPa
520 MPa
5
8.8
Med. carbon
steel
Q&T
580 MPa
640 MPa
800 MPa
8
10.9
Alloy steel Q&T
830 MPa
940 MPa
1040 MPa
10
SAE, per SAE J429
2
Low or med.
carbon steel
55 ksi
57 ksi
74 ksi
2
5
Med. carbon
steel
Q&T
85 ksi
92 ksi
120 ksi
5
8
Alloy steel Q&T
120 ksi
130 ksi
150 ksi
8




           
Bolted joint
Screw joint
Pin joint



Failure modes

The most common mode of failure is overloading. Operating forces of the application produce loads that exceed the clamp load and the joint works itself loose, or fails catastrophically. Something that is not considered structural failure, but nevertheless is becoming a modern annoyance in new buildings is bolt banging.
Over torquing will cause failure by damaging the threads and deforming the hardware, the failure might not occur until long afterwards. Under torquing can cause failures by allowing a joint to come loose. It may also allow the joint to flex and thus fail under fatigue.
Brinelling may occur with poor quality washers, leading to a loss of clamp load and failure of the joint.
Corrosion and exceeding the shear stress limit are other modes of failure.

Types of bolts

Bolted joints in an automobile wheel. Here the outer four screws are studs that project through the brake drum and wheel, while nuts with conical locating surfaces secure the wheel. The central nut (with cotter key) secures the wheel bearing to the steering spindle. Other configurations use a bolt into threaded holes in the axle end or brake drum.
  • cap screw
  • machine screw
  • stud

Locking mechanisms

Locking mechanisms keep bolted joints from coming loose. They are required when vibration or joint movement will cause loss of clamp load and joint failure. And in equipment where the security of bolted joints is essential.


Link Download :
 Format Pdf                            - Format Ms.Word Docx


                    Password :      |     Status : Tested (Windows 8)

Jika ada kendala atau masalah, hubungi :