MEMAHAMI TANGGUNG JAWAB DAN ETIKA ENGINEERING

MEMAHAMI TANGGUNG JAWAB DAN ETIKA ENGINEERING

“Tanggung Jawab dan Etika Sarjana Teknik”

Indar Luh Sepdyanuri 

Etika Engineering
Abstrak
            Etika engineering adalah etika, sebagai lawan moralitas pribadi. Menetapkan standar untuk praktek profesional dan hanya dapat dipelajari di sekolah kejuruan atau dalam praktek profesional. Ini adalah bagian penting dari pendidikan profesional karena membantu siswa berurusan dengan masalah yang mereka akan hadapi dalam praktek. Cara terbaik untuk mengajar etika rekayasa adalah dengan menggunakan kasus - bukan bencana hanya yang membuat berita, tapi jenis kasus yang lebih mungkin daripada seorang insinyur. Banyak kasus yang tersedia dan ada metode untuk analisis. Etika rekayasa dapat diajarkan di kursus independen, tetapi ada argumen kuat untuk pengenalan kursus etika dan teknis. Rekayasa adalah sesuatu yang insinyur lakukan, dan apa yang mereka lakukan memiliki efek mendalam pada orang lain. Jika subjek etika profesional adalah bagaimana anggota profesi harus, atau tidak harus, mempengaruhi orang lain dalam perjalanan melaksanakan profesi mereka, etika rekayasa merupakan aspek penting dari rekayasa sendiri dan pendidikan dalam tanggung jawab profesional harus menjadi bagian dari pendidikan profesional dalam rekayasa, sama seperti dalam ilmu hukum dan kedokteran. Mungkin beberapa pendidik rekayasa akan setuju dengan klaim ini, pelaksanaannya di rekayasa pendidikan adalah masalah lain. Kami ingin membahas pengenalan etika rekayasa ke pendidikan teknik dalam hal empat pertanyaan: Apa itu etika engineering? Mengapa harus ditekankan dalam pendidikan teknik? Bagaimana seharusnya hal itu diajarkan? dan Kapan harus muncul dalam pendidikan mahasiswa?

Keyword : Etika, Profesional, Tanggung Jawab, Insinyur
Silahkan Download File Dalam Format DOCx dan PDF pada link Dibawah Artikel
Pendahuluan

Mengacu pada pengertian dan pemahaman mengenai profesi, (sikap) profesional, dan (paham) profesionalisme; maka nampak jelas kalau ruang lingkup aktivitas rekayasa Engineering yang dilakukan oleh profesi insinyur per definisi bisa disejajarkan dengan kegiatan keprofesian yang lain seperti dokter, pengacara, guru dan sebagainya. Profesionalisme keinsinyuran akan dapat ditunjukkan melalui penerapan keahlian khusus seperti yang telah dirancang dalam kurikulum pendidikan ilmu keteknikan (engineering) yang ditopang kuat oleh ilmu matematika, fisika, kimia dan pengetahuan dasar keteknikan lainnya untuk melakukan perencanaan, perancangan (design), konstruksi, operasi maupun perawatan produk, proses, maupun sistem kerja tertentu secara efektif, nyaman, aman, sehat dan efisien guna memberikan kemaslahatan manusia.

Didalam penerapan kepakaran dan keahliannya, seorang insinyur acapkali akan terlibat dalam berbagai macam aktivitas yang tidak lepas dari konflik kepentingan yang akhirnya bisa menggoyahkan nilai-nilai idealisme dan tujuan mulia “for the benefit of mankind” yang telah dirumuskannya. Sebagai sebuah profesi yang memiliki tanggung jawab besar bagi kemaslahatan umat manusia, penerapan kepakaran dan keahlian insinyur sudah sepatutnya untuk selalu mengindahkan norma, budaya, adat, moral dan etika yang berlaku universal. Seperti halnya dengan profesi-profesi lainnya, profesi insinyur sudah saatnya untuk menata-dirinya didalam sebuah wadah organisasi profesi (bisa bersifat umum dan/atau spesifik) dan sekaligus menerapkan norma-norma etika profesi seperti yang teruang dalam kode etik profesi untuk menjaga martabat, kehormatan dan/atau itikad-itikad etis yang harus ditaati oleh mereka yang akan menerapkan keahlian serta kepakarannya. Berangkat dari kepentingan ini, maka sudah sepatutnya pula kalau substansi mengenai etika profesi (keinsinyuran) ini dimasukan dalam kurikulum pendidikan tinggi keteknikan termasuk dalam hal ini kurikulum Pendidikan Tinggi Teknik/Teknologi. Tujuan utamanya adalah memberikan pengertian dan pemahaman mengenai etika, profesi dan etika profesi dengan segala macam permasalahan serta relevansinya berkenaan dengan penerapan keahlian dan kepakaran dalam praktek-praktek keinsinyuran.
Kita mulai dengan perbedaan yang jelas, namun penting, antara moralitas dan etika. Moral menggunakan istilah yang mengacu pada aturan perilaku yang berlaku untuk semua orang, tidak hanya kepada anggota kelompok. Idealnya, aturan ini adalah bahwa setiap orang yang rasional ingin semua orang lain untuk mengikuti, bahkan jika orang lain maka mereka berarti bahwa dia harus melakukan hal yang sama.ketika Kami semua muda kita belajar aturan-aturan moral yang dasar seperti: Jangan berbohong, jangan membunuh, jangan berbohong; Jaga janji Anda, jangan mencuri, dan sebagainya. Ketika Kami masih muda kita belajar bahwa aturan memiliki pengecualian (misalnya, "kecuali dalam membela diri" untuk "tidak membunuh") .sekarang dan kemudian kita dapat mengubah pikiran kita tentang bagaimana menafsirkan aturan tertentu atau pengecualian, Misalnya, kita berpikir kita bisa pergi tanpa berkata apa-apa palsu (misalnya, menghilangkan setiap fakta yang diperlukan untuk memahami apa yang kita katakan).

TANGGUNG JAWAB MORAL DAN SOSIAL PROFESI INSINYUR

Besarnya keinginan untuk memecahkan persoalan-persoalan kehidupan manusia di era global dan kebutuhan akan penemuan-penemuan yang mampu memberikan manfaat untuk mencari solusi persoalan tersebut, merupakan kekuatan pendorong menuju ke pengembangan teknologi modern. Hanya saja satu hal yang patut untuk disadari bahwasanya sebuah temuan teknologi acapkali justru tidak hanya memberikan solusi positif terhadap persoalan yang dihadapi, melainkan juga akan memberikan permasalahan baru bagi keseimbangan alam dan kehidupan manusia. Karena banyak berkaitan dengan kehidupan manusia itulah, maka teknologi seringkali dipertimbangkan sebagai faktor penentu yang juga dominan didalam proses perubahan sosial. Teknologi tidak hanya memiliki sifat “akumulatif”, tetapi seringkali pula bersifat “multiplikatif” khususnya terkait dengan penemuan-penemuan teknologi baru yang lain. Adakalanya dampak yang ditimbulkan oleh sebuah temuan teknologi seringkali memerlukan “obat penawar” berupa penemuan-penemuan teknologi selanjutnya. 

Revolusi industri yang berlangsung lebih dari dua abad yang lalu banyak membawa perubahan-perubahan didalam banyak hal. Awal perubahan yang paling menyolok adalah dalam hal diketemukannya rancang bangun (rekayasa/engineering) mesin uap sebagai sumber energi untuk berproduksi, sehingga manusia tidak lagi tergantung pada energi ototi ataupun energi alam; dan yang lebih penting lagi manusia bisa menggunakan sumber energi tersebut dimanapun lokasi kegiatan produksi akan diselenggarakan. Hal lain yang patut dicatat adalah diterapkannya rekayasa tentang tata cara kerja (methods engineering) untuk meningkatkan produktivitas kerja yang lebih efektif-efisien dengan menganalisa kerja sistem manusia-mesin sebagai sebuah system produksi yang terintegrasi. Apa-apa yang telah dikerjakan oleh Taylor, Gilbreth, Fayol, Gantt, Shewart, dan sebagainya telah menghasilkan paradigma paradigma baru yang beranjak dari struktur ekonomi agraris bergerak menuju ke struktur ekonomi produksi (industri). Demikian pula langkah-langkah yang telah dilakukan oleh Taylor dan para pionir keilmuan teknik dan manajemen industri lainnya itu (kebanyakan dari mereka justru berlatar - belakang insinyur) telah membuka cakrawala baru dalam pengembangan dan penerapan sains-teknologi demi kemaslahatan manusia. Dalam hal ini penerapan sains, teknologi serta ilmu-ilmu keteknikan (engineering) tidak harus selalu terlibat dalam masalah-masalah yang terkait dengan perancangan perangkat keras (hardware) berupa teknologi produk maupun teknologi proses; akan tetapi juga ikut bertanggung-jawab dalam persoalan-persoalan yang berkembang dalam perancangan perangkat teknologi lainnya (software, organoware dan brainware), maupun bertanggung-jawab terhadap segala macam dampak (lingkungan, sosial, dll) yang ditimbulkan sebagai akibat pengembangan teknologi yang tidak hanya memberikan manfaat positif, melainkan juga memberikan berbagai macam resiko negatif yang merusak lingkungan (Vesilind, 1998). Untuk mengantisipasi problematik industri yang semakin luas dan kompleks tersebut, maka didalam penyusunan kurikulum pendidikan tinggi sains-teknologi (tidak peduli program studi ilmu keteknikan macam apa yang ingin ditawarkan) seharusnya tidak lagi semata hanya memperhatikan arah perkembangan ilmu dan keahlian teknis (engineering); melainkan juga harus dilengkapi dan diserasikan dengan ilmu-ilmu lain.

KODE ETIK PROFESI ENGINEER
Dibandingkan dengan profesi-profesi yang lain seperti dokter ataupun pengacara, maka profesi keinsinyuran mungkin termasuk yang paling ketinggalan didalam membicarakan maupun merumuskan etika profesi-nya dalam sebuah kode etik insinyur (the code of ethics of engineers). Ada berbagai macam kode etik yang dibuat oleh berbagai-macam asosiasi profesi keinsinyuran yang ada, meskipun secara prinsipiil tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dari kode etik yang satu dibandingkan dengan yang lainnya. Struktur dari kode etik profesi tersebut umumnya diawali dengan hal-hal yang bersifat umum seperti yang tercantum di bagian pendahuluan, mukadimah atau “general introductory”; dan selanjutnya diikuti dengan serangkaian pernyataan dasar atau “canon” (dari bahasa latin yang berarti aturan). Canon ini kemudian dijabarkan secara lebih luas lagi dengan memberikan uraian penjelasan untuk hal-hal yang bersifat khusus dan/atau spesifik. Kode etik insinyur yang dipublikasikan oleh ABET ( 1985 ) memulainya dengan dengan introduksi umum yang berisikan pernyataan tentang 4 (empat) prinsip etika dasar profesi keinsinyuran sebagai berikut : 
Engineer uphold and advance the integrity, honor and dignity of the engineering profession by (a) using their knowledge and skill for the enhancement of human welfare; (b) being honest and impartial, and serving with fidelity the public, their employers and clients; (c) striving to increase the competence and prestige of the engineering profession; and (d) supporting the professional and technical societies of their disciplines. 
Selanjutnya kode etik versi ABET tersebut diakhiri dengan 7 (tujuh) fundamental canon yang kemudian dilengkapi lagi dengan uraian penjelasan yang termuat dalam “Suggested Guidelines for Use with the Fundamental Cannons of Ethics”. Kode etik yang sama --- secara substansial tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan dengan versi ABET --- juga dibuat oleh National Society of Professional Engineers (1998) yang strukturnya terdiri dari pembukaan (preamble), 5 (lima) fundamental canons, aturan praktis untuk mendukung dan menjelaskan canon tersebut, dan satu set yang berisikan 11 (sebelas) “professional obligations”, dan beberapa keterangan penutup. 

Bagaimana dengan Persatuan Insinyur Indonesia (PII) sendiri ? Dalam hal ini PII telah berhasil merumuskan dan menyusun Kode Etik Insinyur Indonesia yang diberi nama Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia:
 Catur Karsa Sapta Dharma Insinyur Indonesia yang terdiri dari 2 (dua) bagian, yaitu (a) Prinsip Prinsip Dasar yang terdiri atas 4 (empat) prinsip dasar, dan (b) Tujuh Tuntunan Sikap (Canon), dan secara lengkapnya dapat ditunjukkan sebagai berikut : 
Pertama, Prinsip-Prinsip Dasar :
  1. Mengutamakan keluhuran budi. 
  2. Menggunakan pengetahuan dan kemampuannya untuk kepentingan kesejahteraan umat manusia. 
  3. Bekerja secara sungguh-sungguh untuk kepentingan masyarakat, sesuai dengan tugas dan tanggung-jawabnya. 
  4. Meningkatkan kompetensi dan martabat berdasarkan keahlian profesional keinsinyuran.
Kedua, Tujuh Tuntunan Sikap :
  1. Insinyur Indonesia senantiasa mengutamakan keselamatan, kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. 
  2. Insinyur Indonesia senantiasa bekerja sesuai dengan kompetensinya. 
  3. Insinyur Indonesia hanya menyatakan pendapat yang dapat dipertanggung-jawabkan. 
  4. Insinyur Indonesia senantiasa menghindari terjadinya pertentangan kepentingan dalam tanggung-jawab tugasnya. 
  5. Insinyur Indonesia senantiasa membangun reputasi profesi berdasarkan kemampuan masing masing. 
  6. Insinyur Indonesia senantiasa memegang teguh kehormatan, integritas dan martabat profesi. 
  7. Insinyur Indonesia senantiasa mengembangkan kemampuan profesionalnya.
Selanjutnya persoalan yang masih harus dihadapi adalah bagaimana implementasi kode etik yang telah dirumuskan dengan baik itu dalam kenyataan (praktek) sehari-harinya ? Apakah kode etik itu cukup operasional untuk dipatuhi; dan apakah persoalan-persoalan yang menyangkut tindakan yang tidak profesional, melanggar (kode) etika profesi, serta segala macam bentuk penyimpangan maupun penyalah-gunaan keahlian sudah bisa diselesaikan dengan aturan (kode etik) yang ada? Seberapa jauh organisasi profesi seperti insinyur ini memiliki kekuatan untuk mengontrol dan mengambil tindakan terhadap pelanggaran-pelanggaran etika profesi yang dilakukan oleh anggotanya ? Adakah supremasi hukum mampu dan bisa diterapkan untuk menangani kasus penyimpangan-penyimpangan yang berkaitan dengan kode etik profesi ini? Persoalan pelanggaran etika profesi dan ketidak-berdayaan hukum untuk menindaknya merupakan masalah besar, karena hal ini bisa mengganggu dan menghilangkan kepercayaan masyarakat akan jasa profesi tertentu. 

Beberapa kasus dan merupakan tipikal umum isue yang dianggap sebagai bentuk pelanggaran (kode) etika profesi antara lain berupa : 
  • konflik kepentingan, sebagai contoh seberapa jauh bisa dikatakan telah terjadi penyimpangan manakala karena posisi/jabatannya seorang professional menerima “hadiah” dari pemasok barang/ material atau klien lainnya ? Seberapa besar nilai sebuah “cinderamata” itu dianggap masih dalam batas-batas kewajaran, dan seberapa pula yang bisa dianggap melanggar etika profesi ?; 
  • kerahasiaan dan loyalitas, seorang profesional harus punya komitmen yang jelas terhadap segala informasi yang diklasifikasikan sebagai konfidensial (terbatas/rahasia) dan juga harus menunjukkan loyalitasnya kepada klien-nya. Pelanggaran berupa pemberian informasi yang seharusnya dijaga kerahasiaannya kepada kompetitor jelas merupakan tindakan yang tidak profesional (membuka rahasia dan tidak loyal); 
  • kontribusi (dana) balik, berupa pemotongan sebagian dana yang harus dikembalikan kepada pemilik proyek atau pemberi order; 
  • tiupan peluit (whistleblowing), kesadaran dan keberanian dari sesame profesi meniupkan “peluit”-nya untuk mengingatkan bahwa telah terjadi pelanggaran kode etik. Sebagai contoh, bukankah pelayanan jasa profesi itu tidak boleh ditawar-tawarkan (lewat iklan, misalnya), terlebih kalau belum apa-apa sudah mematok tarif jasa pelayanan tersebut ? Banyak kasus sengaja untuk ditutup atau diselesaikan secara internal dengan dalih melindungi kehormatan dan masa depan rekan sesama profesi (dan justru mengorbankan kepentingan umum) karena ada kekawatiran kalau persoalan pelanggaran etik profesi ini berkembang luas dan menjadi terbuka akan bisa menurunkan kehormatan, kepercayaan, ataupun kredibilitas terhadap profesi tersebut; dan seterusnya. 
Globalisasi membawa banyak tantangan dan persoalan yang harus dihadapi serta menjadi tanggung-jawab para profesional. Persoalan yang semakin kompleks, keterkaitan dan ketergantungan antar individu dalam sebuah sistem akan memberikan dampak sosial dari setiap kebijakan maupun keputusan yang diambil. Setiap profesi (tidak terkecuali) harus benar-benar menaruh perhatian akan dampak sosial dari setiap keputusan yang diambil dan akan diterapkan. Semuanya harus dikemas berdasarkan keahlian-kepakaran serta mengindahkan betul etika profesionalnya. Pelajaran paling berharga yang bisa ditarik dari masa lalu telah menunjukkan bahwa semua kebijakan, keputusan, maupun aktivitas yang dikemas tanpa mengindahkan nilai moral, etika dan hukum pada akhirnya terjerembab, terpuruk serta bangkrut secara memalukan. Moral, etika dan hukum ibaratnya konstruksi bangunan merupakan pondasi, pilar dan atap-nya. 

Kehidupan masyarakat yang terus berubah cepat dan secara mendasar karena terbentuknya suasana baru (reformasi) dan dipicu dengan kemajuan teknologi di penghujung akhir abad 20 ini telah menyadarkan kita akan arti pentingnya nilai moral, etika dan meningkatnya peran profesionalisme didalam menyelesaikan tantangan dan persoalan yang dihadapi.yang memberikan wawasan maupun keterampilan (skill) yang berhubungan dengan persoalan manusia, organisasi & manajemen industri, lingkungan serta persoalan-persoalan praktis yang dihadapi oleh industri dalam aktivitas rutin-nya sehari-hari. Arah perkembangan dan kemajuan di bidang sains-teknologi memang perlu untuk senantiasa diikuti, akan tetapi yang juga tidak kalah pentingnya adalah bagaimana persoalan-persoalan industri seperti peningkatan daya saing, perselisihan perburuhan, pencemaran lingkungan, rendahnya kualitas sumber daya manusia, kelangkaan energi, restrukturisasi organisasi, analisa finansial, dan sebagainya ikut dipikirkan serta dicarikan solusi pemecahannya. 

Persoalan-persoalan semacam ini jelas harus bisa dijawab oleh manajemen dan pengambil keputusan di lingkungan industri (yang banyak diantara mereka memiliki latar belakang pendidikan di bidang teknologi dan engineering). Untuk menghadapi persoalan-persoalan yang kebanyakan lebih bersifat kualitatif dan non-eksak semacam begini, jelas kurikulum pendidikan tinggi sains-teknologi akan memerlukan “supplemen” berupa materi materi yang berasal dari luar kepakaran ilmu keteknikan (engineering) seperti hal-nya organisasi/manajemen (industri), ekonomi (makro-mikro), bisnis, analisa finansial, psikologi industri, ergonomi, kepemimpinan (leadership), etika (bisnis & profesi) dan wawasan social ekonomi lainnya. 

Pendidikan tinggi sains-teknologi tidak hanya diharapkan mampu menghasilkan lulusan dalam jumlah yang dibutuhkan, akan tetapi juga harus mampu menghasilkan lulusan yang berkualitas global, profesional dan memenuhi syarat-syarat kompetensi bekerja yang dituntut oleh pasar tenaga kerja. Tantangan global menghadapkan dunia pendidikan tinggi sains-teknologi agar mampu mengikuti dan menangkap arah perkembangan sains-teknologi yang melaju begitu cepat, dan disisi lain harus pula menghasilkan lulusan yang berdaya-saing tinggi dan memenuhi tuntutan persyaratan maupun standard kompetensi kerja internasional. Langkah evaluasi diri (melalui SWOT analysis), pemetaan posisi maupun “benchmarking” harus dan penting untuk senantiasa dilakukan. Untuk langkah ini, maka dengan mengacu pada “ABET-Engineering Criteria 2000” nampak bahwa lulusan perguruan tinggi sains teknologi (engineering) tidak saja harus menghasilkan lulusan yang memiliki keahlian dan kepakaran di bidang keteknikan saja; tetapi juga harus memiliki 11 (sebelas) kriteria profil mutu yang dipergunakan untuk mengukur kompetensi dasar yang harus dikuasai oleh para lulusan 

Perguruan Tinggi Teknik berupa wawasan, pemahaman serta kemampuan baik yang berkaitan dengan dasar-dasar ilmu keteknikan/engineering seperti matematika, fisika maupun basic engineering sciences dan juga yang berdimensi diluar lingkup bidang ilmu keteknikan yang berbasis pada attitude dan perilaku intelektual. Salah satunya menyebutkan bahwa lulusan (alumni) haruslah memiliki pemahaman terhadap tanggung jawab dan etika profesional.

Permasalahan menjadi menarik pada saat Persatuan Insinyur Indonesia [2000] melakukan penelitian yang bertujuan untuk memperoleh gambaran mengenai tingkat kesenjangan mutu dan relevansi Sarjana Teknik (termasuk juga dalam hal ini Sarjana Pertanian) di Industri, dimana diperoleh hasil yang menunjukkan adanya 6 (enam) kesenjangan yang cukup signifikan antara harapan serta persepsi masyarakat industri dan bisnis dengan kompetensi lulusan Perguruan Tinggi Teknik yang memerlukan prioritas untuk diperhatikan dan dicarikan solusi konkritnya, yaitu 
  1. kemampuan untuk berperan/berfungsi dalam tim kerja multi disiplin,
  2. kemampuan mengidentifikasikan, memformulasikan, dan memecah-kan masalah-masalah engineering,
  3. kesadaran akan kebutuhan untuk memenuhinya dalam proses belajar sepanjang hayat, 
  4. kemampuan berkomunikasi dengan efektif, 
  5. pemahaman terhadap tanggung jawab dan etika profesional, 
  6. kemampuan merancang suatu sistem, komponen, proses dan metode untuk memenuhi kebutuhan yang diinginkan. 
Mencermati hasil temuan tersebut, maka keseluruhan kesenjangan yang terjadi lebih berbasis pada lemahnya attitude dan perilaku intelektual daripada kemampuan teknis/engineering.

Kesimpulan yang bisa ditarik dari hasil studi adalah diperlukannya pembenahan konsep, kurikulum serta strategi proses pembelajaran untuk membentuk attitude berpikir dan perilaku intelektual sedini mungkin (Tim Studi Pokja Program Profesi Insinyur-PII, 2000).

Daftar Pustaka

Wignjosoebroto, Sritomo Profesi, Profesionalisme dan Etika Profesi. Makalah disajikan dalam diskusi tentang profesionalisme hukum (notariat) di Fakultas Hukum Universitas Airlangga – Surabaya, 1999.
Whitbeck, Caroline. Ethics in Engineering Practice and Research. Cambridge : Cambridge University Press, 1998.